Selasa, 16 Februari 2021

Manusia, Hidup & Perpindahan

 



“Aku Ingin Pergi ke Tempat yang Baru.” Katanya

Beberapa dari kalian pasti pernah deh tersirat pikiran untuk meninggalkan lingkungan hidupmu yang sekarang. Berpindah ke tempat baru yang orang-orangnya sama sekali tidak kamu kenal dan juga tidak ada yang mengenalmu. Berharap bisa menghindari orang-orang yang selama ini kalian anggap jahat dan membuat hidupmu terganggu. Atau bisa jadi kamu berharap untuk bisa berubah menjadi pribadi baru dengan personality yang berbeda dari kamu yang sekarang. Oh iya, bahkan pada level yang lebih hebat, ada beberapa orang yang menulis, “Aku ingin pindah hidup ke Bulan saja. Manusia-manusia Bumi semuanya jahat-jahat.”

Batinku pas baca status itu terpecah kepada beberapa opini-opini terstruktur dan masif. Diantaranya;

Pertama, ok setuju, manusia banyak yang jahat. Tapi kan bisa jadi oleh orang lain kamu juga dianggapnya manusia jahat. Hal tersebut sejalan dengan bunyi sebuah pepatah kuno yang berbunyi; We are all bad persons in someone’s story, right? Ya ngga?

Kedua, teknologi perjalanan ke Bulan belum bisa semudah perjalanan dari Ngaliyan ke Kaligawe, gais. Kamu mau ke Bulannya naik apa?

Ketiga, di Bulan ngga ada Indomaret / Alfamart, kamu yakin bisa bertahan hidup disana?

Nah, ngomong-ngomong tentang Indomaret dan Alfamart ya gais. Saya sendiri selama perjalanan panjang hidupku, yang beberapa hari lagi sudah berkepala tiga ini, pun pernah berpikiran seperti itu dan beberapa kali juga dikabulkan oleh Sang Pencipta. Let me tell my story then.

Berubah


            Pertama kali punya pikiran untuk pindah ke tempat baru adalah saat saya berusia 17 tahunan. Saat itu aku merasa lingkungan tempatku berproses tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pikiran-pikiran yang menyerangku saat itu adalah semacam, “Mereka kok gitu ya?” “Untuk apa begini jika jalannya seperti ini.” “Beliau sama orang ini kok baik, tapi ke aku kok engga ya.” atau “ah sulit”. Pikiranku saat itu terpecah menjadi dua kubu; kubu menyalahkan lingkungan sekitar dan kubu yang menyalahkan diriku sendiri, seperti “andai aku pintar” “andai ku kaya” “andai aku good looking.” dan lain-lain. Namun setelah menjalani berbagai macam drama khas anak umur belasan, pada akhirnya aku berproses penuh di lingkungan tersebut sampai akhirnya memang sudah saatnya bagiku untuk pindah ke kota lain. Saat proses pindah? Well, dulu aku merasa sedih sih, tapi nggak sampai merasa kehilangan. I thought I was ready to face new cycle of life.

            Di tempatku berproses yang baru, awalnya aku masih naif; berharap orang-orang di sekitarku bisa menerimaku apa adanya, tanpa aku harus berubah ke jatidiri yang berbeda. Namun, pada akhirnya aku menyadari bahwa dunia tidak berputar dengan aku sebagai porosnya. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa berharap orang-orang bertindak seperti sebagaimana yang aku inginkan dan maui. Maka, saat itu, setiap kali aku merasa buntu dengan kondisi dan situasi, yang ingin aku lakukan adalah pergi ke tempat yang baru supaya aku bisa mencoba menjadi diri yang baru dengan attitude yang berbeda. And then, voila. Allah mengabulkan keinginanku yang itu.

            Pandemi Corona membuatku mendapatkan kesempatan itu; pindah ke tempat yang baru dimana tidak ada satu orangpun yang aku kenal. Meskipun karena hubungan famili, di tempat itu ada puluhan orang yang “tahu’ aku siapa. Segalanya nampak berjalan baik, aku bisa beraktualisasi diri sekaligus bekerja dengan enak untuk .... satu bulan. Ya, hanya satu bulan saja. Entah masalahnya dimana dan entah apakah itu bisa disebut sebagai sebuah masalah atau tidak, tiba-tiba saja kehidupanku disana seperti di-smack down. Petualangan pertama dalam perjalanan “pindah ke tempat yang baru” berakhir secara tidak mengenakkan. Membuat isi kepalaku kosong untuk kisaran waktu sampai dua bulan ke depannya. Bertanya-tanya dalam diri, “Where did I go wrong?” Berbagai jawaban coba aku cari. Dari yang mendukung sampai yang mendiskreditkan, aku coba untuk terima semua. Aku coba untuk memeluk semua jawaban atas kenapa dan bagaimana. Dengan cara itu, aku pada akhirnya mampu untuk berdiri lagi, setelah hitungan dua bulan hanya diisi dengan bengong dengan pertanyaan kenapa.... kenapa.... dan kenapa yang selalu berputar di kepala.

            Dalam perjalanannya, aku menemukan sebuah teori yang bisa jadi mengecewakan tapi somehow; melegakan. Aku merasa bahwa aku ngga bisa menjadi diriku sendiri untuk bisa diterima oleh masyarakat atau lingkungan di negara ini. Aku merasa supaya bisa diterima di society yang ini, aku musti sedikit mengubah tampilan karakterku di depan penonton yang berbeda. Seperti, aku tidak bisa menjadi diriku sendiri di hadapan semua orang. Pada akhirnya aku harus menerima fakta bahwa aku tidak memenuhi kriteria supaya bisa menjalin pertemanan dengan semua orang. Pada akhirnya aku bisa menerima fakta bahwa aku tidak bisa selalu bercerita dengan riang gembira ke sembarang orang karena; tidak semua orang senang dengerin orang lain bercerita dan tidak semua orang senang melihat orang lain dengan wajah berbinar-binar.

            Aku merasa sedang hidup di sistem dunia yang penuh rasa curiga. Maka untuk menjadi orang yang genuine akan terasa sulit. Untuk menjadi orang yang selalu memberikan senyum akan terasa membebani. Semua tindakanku akan selalu dinilai seolah sedang memiliki misi lain.

            Well, pilihan untuk berubah menjadi orang yang mengikuti sistem yang berlaku di sekitar atau tetap bertahan pada karakter asli semua ada di tanganku. Dan, sebagaimana yang kalian kenali. Aku tetaplah aku. Tetap seperti ini adanya, meskipun kini sedang mendapatkan dan tengah menjalani kesempatan kedua untuk berpindah ke tempat yang baru. Hanya, kali ini aku bolehlah untuk sedikit berharap pada keberuntungan.

 

1 komentar:

Give your comment here, please

LJK Kuis Bhs. Inggris Set 1

  Ku Peluk Hatimu - NOAH Soal bisa dilihat di pdf yang sudah saya kirimkan LJK Kuis set-1 klik aja disini