Beberapa
dari kalian pasti pernah deh tersirat pikiran untuk meninggalkan lingkungan
hidupmu yang sekarang. Berpindah ke tempat baru yang orang-orangnya sama sekali
tidak kamu kenal dan juga tidak ada yang mengenalmu. Berharap bisa menghindari
orang-orang yang selama ini kalian anggap jahat dan membuat hidupmu terganggu. Atau
bisa jadi kamu berharap untuk bisa berubah menjadi pribadi baru dengan personality
yang berbeda dari kamu yang sekarang. Oh iya, bahkan pada level yang lebih
hebat, ada beberapa orang yang menulis, “Aku ingin pindah hidup ke Bulan saja.
Manusia-manusia Bumi semuanya jahat-jahat.”
Batinku
pas baca status itu terpecah kepada beberapa opini-opini terstruktur dan masif.
Diantaranya;
Pertama,
ok
setuju, manusia banyak yang jahat. Tapi kan bisa jadi oleh orang lain kamu juga
dianggapnya manusia jahat. Hal tersebut sejalan dengan bunyi sebuah pepatah
kuno yang berbunyi; We are all bad persons in someone’s story, right? Ya
ngga?
Kedua, teknologi
perjalanan ke Bulan belum bisa semudah perjalanan dari Ngaliyan ke Kaligawe,
gais. Kamu mau ke Bulannya naik apa?
Ketiga,
di
Bulan ngga ada Indomaret / Alfamart, kamu yakin bisa bertahan hidup disana?
Nah, ngomong-ngomong tentang Indomaret dan Alfamart ya gais. Saya sendiri selama perjalanan panjang hidupku, yang beberapa hari lagi sudah berkepala tiga ini, pun pernah berpikiran seperti itu dan beberapa kali juga dikabulkan oleh Sang Pencipta. Let me tell my story then.
Berubah |
Pertama kali punya pikiran untuk
pindah ke tempat baru adalah saat saya berusia 17 tahunan. Saat itu aku merasa
lingkungan tempatku berproses tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pikiran-pikiran yang menyerangku saat itu adalah semacam, “Mereka kok gitu
ya?” “Untuk apa begini jika jalannya seperti ini.” “Beliau sama
orang ini kok baik, tapi ke aku kok engga ya.” atau “ah sulit”.
Pikiranku saat itu terpecah menjadi dua kubu; kubu menyalahkan lingkungan
sekitar dan kubu yang menyalahkan diriku sendiri, seperti “andai aku pintar”
“andai ku kaya” “andai aku good looking.” dan lain-lain. Namun setelah
menjalani berbagai macam drama khas anak umur belasan, pada akhirnya aku
berproses penuh di lingkungan tersebut sampai akhirnya memang sudah saatnya bagiku
untuk pindah ke kota lain. Saat proses pindah? Well, dulu aku merasa
sedih sih, tapi nggak sampai merasa kehilangan. I thought I was ready to
face new cycle of life.
Di tempatku berproses yang baru,
awalnya aku masih naif; berharap orang-orang di sekitarku bisa menerimaku apa
adanya, tanpa aku harus berubah ke jatidiri yang berbeda. Namun, pada akhirnya
aku menyadari bahwa dunia tidak berputar dengan aku sebagai porosnya. Aku menyadari
bahwa aku tidak bisa berharap orang-orang bertindak seperti sebagaimana yang
aku inginkan dan maui. Maka, saat itu, setiap kali aku merasa buntu dengan
kondisi dan situasi, yang ingin aku lakukan adalah pergi ke tempat yang baru
supaya aku bisa mencoba menjadi diri yang baru dengan attitude yang
berbeda. And then, voila. Allah mengabulkan keinginanku yang itu.
Pandemi Corona membuatku mendapatkan
kesempatan itu; pindah ke tempat yang baru dimana tidak ada satu orangpun yang
aku kenal. Meskipun karena hubungan famili, di tempat itu ada puluhan orang
yang “tahu’ aku siapa. Segalanya nampak berjalan baik, aku bisa beraktualisasi
diri sekaligus bekerja dengan enak untuk .... satu bulan. Ya, hanya satu bulan
saja. Entah masalahnya dimana dan entah apakah itu bisa disebut sebagai sebuah
masalah atau tidak, tiba-tiba saja kehidupanku disana seperti di-smack down.
Petualangan pertama dalam perjalanan “pindah ke tempat yang baru” berakhir
secara tidak mengenakkan. Membuat isi kepalaku kosong untuk kisaran waktu
sampai dua bulan ke depannya. Bertanya-tanya dalam diri, “Where did I go
wrong?” Berbagai jawaban coba aku cari. Dari yang mendukung sampai yang
mendiskreditkan, aku coba untuk terima semua. Aku coba untuk memeluk semua
jawaban atas kenapa dan bagaimana. Dengan cara itu, aku pada akhirnya mampu
untuk berdiri lagi, setelah hitungan dua bulan hanya diisi dengan bengong
dengan pertanyaan kenapa.... kenapa.... dan kenapa yang selalu
berputar di kepala.
Dalam perjalanannya, aku menemukan
sebuah teori yang bisa jadi mengecewakan tapi somehow; melegakan. Aku merasa
bahwa aku ngga bisa menjadi diriku sendiri untuk bisa diterima oleh masyarakat
atau lingkungan di negara ini. Aku merasa supaya bisa diterima di society yang
ini, aku musti sedikit mengubah tampilan karakterku di depan penonton yang
berbeda. Seperti, aku tidak bisa menjadi diriku sendiri di hadapan semua orang.
Pada akhirnya aku harus menerima fakta bahwa aku tidak memenuhi kriteria supaya
bisa menjalin pertemanan dengan semua orang. Pada akhirnya aku bisa menerima
fakta bahwa aku tidak bisa selalu bercerita dengan riang gembira ke sembarang
orang karena; tidak semua orang senang dengerin orang lain bercerita dan tidak
semua orang senang melihat orang lain dengan wajah berbinar-binar.
Aku merasa sedang hidup di sistem
dunia yang penuh rasa curiga. Maka untuk menjadi orang yang genuine akan
terasa sulit. Untuk menjadi orang yang selalu memberikan senyum akan terasa
membebani. Semua tindakanku akan selalu dinilai seolah sedang memiliki misi
lain.
Well, pilihan untuk berubah menjadi
orang yang mengikuti sistem yang berlaku di sekitar atau tetap bertahan pada
karakter asli semua ada di tanganku. Dan, sebagaimana yang kalian kenali. Aku tetaplah
aku. Tetap seperti ini adanya, meskipun kini sedang mendapatkan dan tengah menjalani
kesempatan kedua untuk berpindah ke tempat yang baru. Hanya, kali ini aku
bolehlah untuk sedikit berharap pada keberuntungan.
First
BalasHapus